Friday, November 03, 2006

TPF Targetkan Ungkap Insiden Tanah Runtuh dalam 10 Hari

Jumat, 3 Nov 2006

Penulis: Mahfud

JAKARTA- Tim Pencari Fakta Insiden menargetkan dalam 10 hari bisa mengungkap kejadian sebenarnya dalam peristiwa baku tembak Brimob dengan masyarakaat di Tanah Runtuh, Poso, 22 Oktober lalu. Dalam insiden ini seorang warga tewas dan tiga luka-luka.

"Tim sudah berada di Poso kemarin (Kamis, 2/10) dan mudah-mudahkan fakta kejadian bisa terungkap dalam 10 hari," kata Ketua TPF Budi Utomo yang juga Deputi Keamanan Nasional Menko Polhukam, Jumat (3/11).

Budi mengaku TPF sudah bertemu sejumlah pihak untuk menggali informasi seputar kejadian yang memicu Poso kembali memanas akhir bulan lalu. Pertemuan tersebut antara lain dilakukan dengan tokoh-tokoh mayarakat, tokoh agama, dan Polri. Selain itu pertemuan dengan Danrem, Wakil Ketua DPR dan Muspida setempat, juga dilakukan.

"Terutama pertemuan dengan dua belah pihak yaitu masyarakat dan Polri," tuturnya.

Budi mengaku dari serangkaian pertemuan tersebut, TPF belum bisa menarik kesimpulan seputar bentrokan tersebut. Menurut dia, selain mencari informasi dari dua belah pihak dan juga instansi terkait lainnya, TPF juga harus menggali informasi dari tempat kejadian perkara (TKP).

Budi menyatakan TPF akan bekerja seobyektif mungkin dengan tidak berpihak kepada siapa pun baik kepada Polri maupun masyarakat. Untuk itu temuan TPF yang obyektif tersebut diharapkan menumbuhkan kembali kepercayaan antarberbagai pihak yang sempat saling curiga.

Kesepakatan pertemuan

Apalagi, tutur Budi, pembentukan TPF merupakan kesepakatan yang muncul dalam pertemuan antara Wapres Jusuf Kalla dengan tokoh masyarakat dan agama di Palu beberapa waktu lalu.

Dalam pertemuan tersebut, semua pihak menyerahkan penyelidikan insiden Tanah Runtu kepada TPF. Pasalnya baik antara masyarakat dan Polri memberikan penjelasan yang berbeda seputar baku tembak antara Brimob dan masyarakat di Tanah Runtuh.

Budi optimistis TPF bisa menghasilkan temuan obyektif karena anggota TPF juga dari berbagai unsur. Selain dari Menko Polhukam, anggota TPF juga ada tokoh masyarakat, tokoh agama, MUI Poso, BIN, Depdagri dan Provos Mabes Polri.

"Temuan akan obyektif karena kami betul-betul independen. Dari temuan itu diharapkan muncul kembali kepercayaan antarberbagai pihak," tuturnya. (Fud/OL-02).

Karut-marut Kekerasan Poso

Jumat, 3 Nov 2006

Arianto Sangaji

Modus baru kekerasan muncul di Poso: warga berhadapan dengan aparat keamanan.

Bentrok antara aparat kepolisian dan warga di Kelurahan Gebangrejo, Kota Poso (22-23/10/2006), mengakibatkan seorang warga tewas, tiga lainnya luka-luka (termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah mobil polisi dan beberapa sepeda motor terbakar. Buntutnya, sejumlah organisasi massa Islam dan partai politik di Poso meminta pasukan BKO (bawah komando operasi) ditarik dari Poso.

Sebelumnya, warga juga menyerang aparat kepolisian di Taripa, Kecamatan Pamona Timur (29/9/2006). Massa membakar dua mobil, beberapa sepeda motor, dan melempari helikopter milik kepolisian. Versi warga, kemarahan massa dipicu kekecewaan karena Kepala Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog dengan mereka perihal eksekusi Tibo Cs.

Modus baru kekerasan ini harus dijelaskan sebagai puncak gunung es dari ketegangan yang sudah berlangsung lama.

Pertama, karena ketidakmampuan atau ketidakmauan aparat keamanan menyelesaikan berbagai tindakan teror yang melanda Poso dan Palu beberapa tahun terakhir. Publik menganggap aparat keamanan gagal mengungkap aktor dan motif di balik tindak kekerasan—pengeboman, penembakan, dan pembunuhan—yang telah memakan korban tewas puluhan orang dan ratusan orang luka-luka.

Kedua, dalam mengungkap kasus-kasus teror dan kekerasan, aparat kerap salah dalam bertindak dan berlebihan. Beberapa orang disiksa dan ditembak dengan tuduhan terlibat kekerasan tertentu. Belakangan, mereka dilepaskan bukan karena lemah alat bukti, tetapi karena aparat salah menangkap pelaku. Kasus-kasus semacam ini menyuburkan ketidakpuasan warga terhadap aparat keamanan.

Ketiga, warga menduga ada keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan tertentu. Kasus penculikan dan pembunuhan warga Desa Toyado, Desember 2001, serta penembakan terhadap Ivon Nathalia dan Siti Nuraini, November 2005, merupakan contoh nyata keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan di Poso. Buruknya penuntasan hukum kasus-kasus ini tidak saja membuat warga merasa diperlakukan tidak adil, tetapi juga menyuburkan keyakinan, aparat memelihara kekerasan.

Tiga faktor itu dibarengi berbagai ekses turunan operasi pemulihan keamanan di sana, memupuk ketidakpuasan warga atas aparat. Proteksi bisnis dan bisnis proteksi, pelecehan seksual terhadap perempuanperempuan muda, dan aneka kriminal ekonomi, membentuk semacam memori kolektif, aparat keamanan kerap merupakan beban, bukan pemecah masalah.

Pemerintah lemah

Sebagai reaksi atas kekerasan-kekerasan terbaru, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, kekerasan di Sulawesi Tengah bukan konflik, tetapi teror yang dilakukan orang-orang tidak bertanggung jawab (Kompas, 30/10/2006).

Bagi kita, tidak penting apakah itu konflik atau teror. Pertama, karena kekerasan telah memakan korban jiwa tidak sedikit, sementara pemerintah tidak bisa menjamin keselamatan jiwa di masa depan. Ancaman teror menghantui siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Kedua, pemerintah atau pejabat publik seperti Kalla perlu mewujudkan political will melalui tindakan nyata untuk membongkar motif dan aktor di balik kekerasan. Bukan dengan mengulangi pernyataan-pernyataan abstrak dan seremonial, yang tidak saja membingungkan, tetapi juga tidak menyumbang apa-apa terhadap jaminan rasa aman.

Ketiga, pemerintah perlu mempelajari anatomi kekerasan Poso secara mendalam, agar tidak melihat kekerasan secara simplistis. Misalnya, dengan menyatakan maraknya kekerasan sebagai tindakan teror oleh kelompok kecil. Toh, semua tahu, kekerasan di sana menjadi tunggangan "pasar" dan "kuasa".

Jalan keluar

Bagaimanapun, dengan merajalelanya kekerasan Poso, pemerintahan Yudhoyono-Kalla adalah contoh paling nyata dari pemerintahan yang lemah. Pemerintah tak mampu mengendalikan dan menggunakan institusi keamanan dan ketertiban untuk menciptakan rasa aman. Biasanya, sebuah rezim yang lemah ditandai fragmentasi dan rivalitas yang keras antaraktor dan institusi-institusi negara, termasuk antarinstitusi represi negara.

Menghadapi kekerasan Poso yang karut-marut, selayaknya pemerintah menempuh beberapa jalan keluar. Pertama, membenahi institusi penegak hukum di Poso. Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar wajah teror dan kekerasan di Sulawesi Tengah adalah buramnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum sering tidak berkutik mengungkap motif dan aktor di balik teror dan kekerasan, baik karena lemahnya sumber daya maupun karena campur aduknya dengan kepentingan di luar hukum. Sejumlah orang ditahan, sebagian diseret ke pengadilan dengan tuduhan terlibat kekerasan dan teror, tetapi kerap bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka amat lemah. Cerita pun sering berakhir di situ.

Kedua, aparat keamanan yang dikerahkan ke Poso hendaknya lebih menonjolkan pendekatan penegakan hukum dan secara proaktif menciptakan keamanan dan ketertiban melalui dialog, dibanding reaksi penggunaan kekerasan. Konsep community police yang diperkenalkan mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Oegroeseno sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan, dibanding mobilisasi pasukan bersenjata.

Ketiga, pemerintah perlu membuka diri guna mencari penyelesaian kekerasan Poso, melibatkan pihak lebih luas. Artinya, pemerintah perlu menempuh solusi penyelesaian Poso dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan saja. Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan adalah pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI) di bawah otoritas presiden, evaluasi menyeluruh atas kinerja aparat keamanan, dan pemulihan sosial ekonomi, termasuk reintegrasi aneka kelompok bekas kombatan.

Arianto Sangaji
Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu