Tuesday, October 31, 2006
Korban Penembakan di Poso Lapor ke Komnas HAM
Palu Mislan (23), korban penembakan saat terjadi bentrok antara satuan Brimob dan warga sipil di Kota Poso pada 23 Oktober 2006, melapor ke Komnas HAM melalui kantor perwakilannya di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kedatangan Mislan ke Kantor Komisi Daerah Komnas HAM Sulteng, Selasa, didampingi Harun Nyak Itam Abu SH dari Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng, serta sejumlah aktivis Kaukus Ummat Anti Kekerasan.
Menurut Mislan yang masih disertai balutan perban di lengannya akibat mengalami luka tembak, dirinya mengadu ke Komnas HAM untuk memperoleh keadilan, sebab Kapolres Poso AKBP Rudi Suphariadi selaku pengendali operasi pasukan Brimob BKO (bawah kendali operasi) tidak menjatuhkan sanksi kepada pelaku penembakan.
"Saya berharap dengan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM bisa mendapat keadilan," tuturnya kepada wartawan.
Sementara itu, Harun Nyak Itam Abu mengatakan penyerangan anggota Brimob yang mengakibatkan perlawanan warga di Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, pada 22 dan 23 Oktober 2006 mengakibatkan seorang warga sipil tewas dan beberapa lainnya cedera akibat mengalami luka tembak.
Kedua peristiwa ini, menurut Harun, merupakan bentuk pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM yang mengatur soal pembunuhan dan penganiayaan.
Harun meminta Komnas HAM segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) guna meminta pertanggungjawaban Kapolres Poso selaku pimpinan Polri yang mengedalikan pergerakan pasukan di bekas daerah konflik itu.
"TPF menjadi kebutuhan untuk mencari orang yang mesti bertanggungjawab dalam peristiwa itu," katanya.
Dasar bagi penyelidikan awal
Sesuai menerima laporan Mislan, Kepala Kantor Komisi Daerah Komnas HAM Sulteng, Dedy Askari SH, mengatakan laporan itu menjadi dasar pihaknya melakukan penyelidikan awal dengan mendatangi lokasi kejadian guna meminta keterangan sejumlah saksi.
Jika cukup bukti terdapat indikasi pelanggaran HAM, katanya, maka pihak kami akan membentuk TPF yang melibatkan elemen masyarakat.
"Pokoknya apabila TPF nantinya menemukan bukti dugaan pelanggaran HAM, maka kasus insiden berdarah di Tanah Runtuh Gebangrejo akan dibawa ke Peradilan HAM," demikian Askari.
Saat melapor ke Komisi Daerah Komnas HAM, Mislan menyerahkan kronologis peristiwa 22 dan 23 Oktober 2006, serta beberapa foto dan rekaman peristiwa sebagai alat bukti.
Dalam laporan kronologis itu, disebutkan warga Tanah Runtuh Kelurahan Gebang Rejo pertama kali mendapat serangan rentetan tembakan dari berbagai arah yang dilakukan oleh anggota Brimob.
Warga yang panik kemudian melakukan perlawanan dengan lemparan batu dan membakar sebuah truk angkut pasukan Brimob dan tiga unit sepeda motor, serta menyerang Pos Polmas Tanah Runtuh. Itu dilakukan karena aparat di pos jaga ini tidak bertindak
sekalipun warga sudah melaporkan adanya rentetan tembakan.
Sementara versi polisi menyebutkan, massa yang terlebih dahulu menyerang dan menyandera anggota polisi yang bertugas di Pos Polmas serta membakar kendaraan operasional Polri.
Anggota Brimob yang mendatangi lokasi kejadian untuk membebaskan 16 anggota Polmas yang disandera juga mendapat serangan lemparan batu dan tembakan dari arah konsentrasi massa, sehingga anggota Brimob terpaksa membalas tembakan tersebut. (*)
Korban Penembakan di Poso Lapor ke Komnas HAM
Palu Mislan (23), korban penembakan saat terjadi bentrok antara satuan Brimob dan warga sipil di Kota Poso pada 23 Oktober 2006, melapor ke Komnas HAM melalui kantor perwakilannya di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kedatangan Mislan ke Kantor Komisi Daerah Komnas HAM Sulteng, Selasa, didampingi Harun Nyak Itam Abu SH dari Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng, serta sejumlah aktivis Kaukus Ummat Anti Kekerasan.
Menurut Mislan yang masih disertai balutan perban di lengannya akibat mengalami luka tembak, dirinya mengadu ke Komnas HAM untuk memperoleh keadilan, sebab Kapolres Poso AKBP Rudi Suphariadi selaku pengendali operasi pasukan Brimob BKO (bawah kendali operasi) tidak menjatuhkan sanksi kepada pelaku penembakan.
"Saya berharap dengan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM bisa mendapat keadilan," tuturnya kepada wartawan.
Sementara itu, Harun Nyak Itam Abu mengatakan penyerangan anggota Brimob yang mengakibatkan perlawanan warga di Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, pada 22 dan 23 Oktober 2006 mengakibatkan seorang warga sipil tewas dan beberapa lainnya cedera akibat mengalami luka tembak.
Kedua peristiwa ini, menurut Harun, merupakan bentuk pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM yang mengatur soal pembunuhan dan penganiayaan.
Harun meminta Komnas HAM segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) guna meminta pertanggungjawaban Kapolres Poso selaku pimpinan Polri yang mengedalikan pergerakan pasukan di bekas daerah konflik itu.
"TPF menjadi kebutuhan untuk mencari orang yang mesti bertanggungjawab dalam peristiwa itu," katanya.
Dasar bagi penyelidikan awal
Sesuai menerima laporan Mislan, Kepala Kantor Komisi Daerah Komnas HAM Sulteng, Dedy Askari SH, mengatakan laporan itu menjadi dasar pihaknya melakukan penyelidikan awal dengan mendatangi lokasi kejadian guna meminta keterangan sejumlah saksi.
Jika cukup bukti terdapat indikasi pelanggaran HAM, katanya, maka pihak kami akan membentuk TPF yang melibatkan elemen masyarakat.
"Pokoknya apabila TPF nantinya menemukan bukti dugaan pelanggaran HAM, maka kasus insiden berdarah di Tanah Runtuh Gebangrejo akan dibawa ke Peradilan HAM," demikian Askari.
Saat melapor ke Komisi Daerah Komnas HAM, Mislan menyerahkan kronologis peristiwa 22 dan 23 Oktober 2006, serta beberapa foto dan rekaman peristiwa sebagai alat bukti.
Dalam laporan kronologis itu, disebutkan warga Tanah Runtuh Kelurahan Gebang Rejo pertama kali mendapat serangan rentetan tembakan dari berbagai arah yang dilakukan oleh anggota Brimob.
Warga yang panik kemudian melakukan perlawanan dengan lemparan batu dan membakar sebuah truk angkut pasukan Brimob dan tiga unit sepeda motor, serta menyerang Pos Polmas Tanah Runtuh. Itu dilakukan karena aparat di pos jaga ini tidak bertindak
sekalipun warga sudah melaporkan adanya rentetan tembakan.
Sementara versi polisi menyebutkan, massa yang terlebih dahulu menyerang dan menyandera anggota polisi yang bertugas di Pos Polmas serta membakar kendaraan operasional Polri.
Anggota Brimob yang mendatangi lokasi kejadian untuk membebaskan 16 anggota Polmas yang disandera juga mendapat serangan lemparan batu dan tembakan dari arah konsentrasi massa, sehingga anggota Brimob terpaksa membalas tembakan tersebut. (*)
Teror Masamba, Dua Rumah Dibakar
| MASAMBA -- Aksi teror melalui layanan pesan singkat (SMS) yang beredar di Kabupaten Luwu Utara dalam beberapa pekan terakhir ini, akhirnya benar-benar terbukti. Malah, Sabtu 28 Oktober lalu, tiga desa di Kabupaten Luwu Utara, secara bersamaan mendapat serangan dari sekelompok orang tak dikenal. Ketiga desa itu masing-masing Desa Pongo, Kasimbo, dan Kappuna. | 
| Di Desa Pongo        dan Kappuna, kelompok penyerang membakar masing-masing satu rumah, sedang        di Desa Kasimbo membakar satu unit mobil Suzuki Carry warna merah dengan        nomor polisi DD 1146 V milik Martinus (50). Informasi yang diperoleh Fajar dari Masamba menyebutkan, sebelum aksi pembakaran rumah itu terjadi, warga sempat melihat sekelompok orang tidak dikenal melakukan aksi konvoi di jalan dengan menggunakan sepeda motor. Malah, sekitar pukul 11.00 Wita, sempat terjadi kejar-kejaran dengan antara warga dengan kelompok penyerang. Saat itu, kelompok penyerang hanya melakukan pelemparan batu ke rumah warga. Malam harinya, sekitar pukul 22.00 Wita, sekelompok orang yang tidak dikenal itu kembali melakukan penyerangan ke rumah warga. Kali ini, mereka tidak saja melempari rumah tersebut, tetapi juga melakukan aksi pembakaran. Rumah yang pertama kali dibakar diketahui milik Sakkang (70), warga Desa Pongo. Tidak puas dengan membakar rumah Sakkang, pelaku juga melakukan pembakaran di sebuah rumah di Desa Kappuna, Masamba, tepatnya di belakang SMA Negeri 1 Masamba. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulsel Kombes Pol Djoko Subroto yang dihubungi Fajar, Minggu 29 Oktober kemarin, membenarkan aksi teror terhadap warga Masamba. "Memang, saya sudah dapat laporan dari sana, ada dua rumah milik warga dibakar, dan empat mobil rusak. Kedua rumah warga itu berada tepat di belakang Gereja," kata Djoko. Hanya saja, kata Djoko, polisi belum mengidentifikasi pelaku yang terlibat dalam aksi penyerangan yang berbuntut pembakaran rumah dan mobil itu. "Tetapi secara umum, Masamba tetap kondusif. Meski begitu, pihak kepolisian tetap melakukan antisipasi pengamanan di wilayah itu," katanya. Djoko menambahkan, akibat aksi toror tersebut, polisi kini menyiagakan dua kompi Brimob di Lutra. Satu kompi yang disiagakan di perbatasan Sulsel-Sulteng saat pengamanan lebaran lalu, terpaksa ditarik ke Masamba, sedang satu kompi lagi baru saja diberangkatkan ke ibukota Kabupaten Luwu Utara itu. Ketika ditanya tentang motif di balik penyerangan rumah warga ini, Djoko enggan berspekulasi. Ia juga tidak mau mengaitkan apakah aksi pembakaran rumah ini ada kaitannya dengan tewasnya dua warga Masamba saat melintasi wilayah Poso bulan lalu, masing-masing Arham Badaruddin dan Wandi Usman. "Peristiwa itu masih dalam penyelidikan aparat kepolisian. Apakah ada kaitannya dengan kasus ditemukannya dua warga Masamba yang tewas di Poso atau tidak, tergantung hasil penyidikan nantinya," katanya. * POLISI BERSIAGA Aparat kepolisian diback-up personel Brimob dari Kompi C Baebunta, dan TNI AD dari Kodim 1403 Sawerigading Palopo, langsung bersiaga sesaat setelah terjadi pembakaran rumah penduduk. Sampai petang kemarin, aparat keamanan masih bersiaga di tiga desa yang telah terjadi pembakaran, termasuk di sejumlah tempat-tempat keramaian di Masamba. Kapolwil Parepare, Kombes Pol Genot Ariyanto yang dikonfirmasi Fajar via ponselnya, siang kemarin, mengaku telah berada di Masamba. Ia juga menyatakan telah meninjau tiga desa yang terjadi pembakaran dua rumah dan satu unit mobil Carry. Sejauh ini, kata Kapolwil, polisi masih menyelidiki pelaku dan motif kasus pembakaran dua rumah dan satu mobil itu. Namun demikian, untuk sementara, kata Kapolwil, kasus ini belum bisa dikaitkan dengan SARA, ataupun kasus terbunuhnya dua warga Masamba di Poso, Arham Badaruddin dan Wandi Usman. Ditegaskan Kapolwil, polisi terus menyelidiki pelakunya. "Kita upayakan pelaku bisa ditangkap secepatnya," tandasnya.  | 
| Sumber : (p21-cbd) | 
Pertemuan Wapres di Palu Tak Lahirkan Kesepakatan Baru
 Palu – Pertemuan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dengan              tokoh agama Kristen dan Muslim Poso tidak melahirkan kesepakatan              baru. Dalam pertemuan itu, Wapres hanya menegaskan tiga kebijakan              pemerintah menyangkut kekerasan di Poso dan sekitarnya.
            Ketiga kebijakan itu yakni: pertama, upaya penegakan hukum terhadap              seluruh tindak kekerasan di Poso. Kedua, penegasan bahwa terorisme              adalah musuh bersama; dan ketiga dalam rangka butir pertama dan              kedua, aparat yang di-BKO-kan (di bawah kendali operasi) masih              sangat diperlukan di Poso.
            Hal itu diungkap AR Tubondo, Dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT)              Tentena dan mantan Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi              Tengah (GKST) ketika dihubungi SH, Senin (30/10) pagi ini. AR              Tubondo adalah salah satu tokoh Kristen yang diundang hadir dalam              pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla di Gubernuran Siranindi II,              Jalan Mohammad Yamin, Palu, Senin (30/10) dini hari.
            Pagi ini sekitar pukul 07.00 Wita, Wapres langsung kembali ke              Jakarta dari Bandara Mutiara, Palu, Sulawesi Tengah. Dijadwalkan              siang ini sekitar pukul 12.00 WIB, Jusuf Kalla di kantornya akan              mengadakan jumpa pers menjelaskan hasil pertemuannya dengan tokoh              agama Poso.
            Tubondo mengatakan, tidak ada kesepakatan karena tidak terjadi              konflik antara dua komunitas ini."Tidak ada melahirkan kesepakatan              baru selain kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam Deklarasi              Malino 2001," katanya. Ia menambahkan, pertemuan semalam hingga dini              hari itu merupakan penegasan tiga kebijakan pemerintah menyangkut              tindak kekerasan di Poso dan sekitarnya.
           
            Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua Majelis Sinode GKST (Gereja              Kristen Sulawesi Tengah), Pendeta Ishak Pole meminta Kapolri              Jenderal Sutanto memberikan penjelasan secara transparan kepada              masyarakat soal pengusutan kasus kekerasan di Sulteng, termasuk              kasus penembakan Pendeta Irianto Kongkoli agar masyarakat tidak              bingung.
            Hal itu dinyatakan Pendeta Ishak Pole dalam pertemuan dengan Wapres              Jusuf Kalla, Senin (30/10) dini hari. Pertemuan Wapres Jusuf Kalla              dengan sekitar 20 tokoh Kristen Poso berlangsung sekitar satu jam              sejak pukul 00.15 Wita. Dalam pertemuan itu, Wapres didampingi Menko              Polhukam Widodo AS, Kapolri Jenderal Sutanto, Kepala BIN Syamsir              Siregar, Mensos Bachtiar Chamsyah, Menkum dan HAM Hamid Awaluddin              dan Mendagri M. Ma'ruf.
            Pendeta Ishak Pole menambahkan, penjelasan secara transparan itu              dimaksudkan agar semuanya jelas dan yang terpenting tidak              menimbulkan kecurigaan di antara masyarakat.
            Harapan senada juga dilontarkan Pendeta Dharma Salatta. Ia              mengatakan tugas pendeta di Sulteng selama ini bertambah, yaitu              selain memberikan khotbah juga harus memberikan pemahaman dalam              menyikapi berbagai kasus kasus kekerasan yang terjadi.
            Sedangkan, tokoh Kristen asal Poso lainnya yakni Pendeta Lies              Sigilipu meminta pemerintah memperhatikan pemulihan ekonomi              masyarakat di bekas daerah konflik itu. Diungkapkan, pemulihan              ekonomi masyarakat korban kerusuhan di Poso belum tertangani dengan              baik sehingga masih banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan.
            Dalam pertemuan itu, Wapres Jusuf Kalla memberi respon positif              dengan mengatakan bahwa pemerintah sudah menyusun konsep yang akan              segera dilaksanakan di bekas daerah konflik itu.
           
            Bentuk Tim Rekonstruksi
            Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla, Minggu (29/10) malam telah              mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Muslim Poso. Dalam pertemuan              itu, pemerintah menyetujui permintaan tokoh Muslim Poso untuk              membentuk tim rekonstruksi untuk menyelidiki kasus bentrokan antara              anggota Brimob dengan warga Poso, Minggu (22/10) serta kasus-kasus              kekerasan yang pernah terjadi di bekas daerah konflik itu.
            Tim rekonstruksi bentukan pemerintah itu akan berada dibawah              koordinasi Menko Polhukam dan keanggotaannya melibatkan pemerintah              daerah dan perwakilan masyarakat setempat. "Kami juga mengusulkan              perwakilan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat untuk dilibatkan              dalam tim rekonstruksi," kata Kyai Adnan Arsal, usai mengikuti              pertemuan dengan Wapres di Gedung Bappeda Provinsi Sulteng.
            Tokoh Muslim Poso yang hadir dalam pertemuan itu di antaranya Yahya              Mangun, Adnan Arsal, Lily Saefullah Jafar, Ustad Gani, Wahid Laiji,              Farid Jafar, Ibrahim Ismail serta mantan pemimpin Laskar Jihad Jafar              Umar Thalib.
            Mengenai ultimatum pimpinan ormas Muslim Poso agar pemerintah              menarik seluruh pasukan Brimob non-organik dari wilayah Poso, Kyai              Adnan Arsal mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan dengan              melihat situasi keamanan di Poso.
            Dalam pertemuan tertutup yang berlangsung lebih dua jam sejak pukul              21.15 Wita itu dan mendapat kawalan sedikitnya 550 personel gabungan              TNI dan Polri itu, Kyai Adnan Arsal berjanji menyerahkan warga              Muslim Poso yang DPO (daftar pencarian orang) kepada polisi karena              diduga terlibat aksi kekerasan.
            Sumber SH menyebutkan, dalam pertemuan itu Kyai Adnan Arsal yang              juga Ketua Pondok Pesantren Amanah itu bahkan mendesak Kapolri              Jenderal Sutanto yang hadir dalam pertemuan itu untuk menyerahkan              daftar DPO kepadanya sehingga pihaknya dapat membantu mencari dan              menyerahkan untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
            Wapres Jusuf Kalla sendiri dalam acara halalbihalal dengan jajaran              musyawarah pimpinan daerah serta tokok masyarakat, agama, pemuda dan              perempuan se-Sulawesi Tengah, Minggu (29/10) di Palu mengajak semua              komponen bangsa untuk menjadikan pelaku teror di Poso sebagai musuh              bersama. Ia kembali mengulangi penegasan sebelumnya yang menyatakan              bahwa kejadian di Poso bukan konflik antarwarga tapi tindakan teror              yang dilakukan pihak yang tidak bertanggungjawab dan menginginkan              Poso kembali rusuh. (erna dwi lidiawati/ant/nor)             
Wapres: Penarikan Polisi Jika Keamanan Poso Telah Pulih
Laporan Wisnu Nugroho A
JAKARTA, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan penarikan personel Kepolisian yang ditugaskan di wilayah Poso, Sulawesi Tengah, akan dilakukan hanya jika kondisi keamanan wilayah itu telah pulih.
Penegasan Wapres ini seolah menjadi jawaban atas rangkaian aksi unjuk rasa yang dilakukan warga Poso, bahkan kelompok massa di Jakarta yang menuntut penarikan pasukan Brimob yang ditugaskan di wilayah itu.
"Polisi yang di-BKO-kan akan dikurangi jika keamanan pulih dan masyarakat tidak lagi khawatir. Itu bisa minggu depan, bisa bulan depan," ujar Wapres dalam jumpa pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin (30/10).
Pada kesempatan ini, Wapres juga menjelaskan bahwa dalam kunjugannya ke Palu Sulawesi Tengah, kemarin, tokoh agama dan tokoh masyarakat menyepakati empat langkah yang harus dijalankan untuk memulihkan kondisi keamanan di Poso.
Pertama, masalah diselesaikan secara damai melalui dialog yang melibatkan semua pihak. Dalam kaitan dengan ini, akan dihidupkan kembali kelompok kerja Malino untuk meningkatkan silaturahmi dan dialog.
Kedua, atas aksi teror yang terjadi, seluruh pihak menyepakati bahwa teroris harus dijadikan musuh, karena terorisme membahayakan semua orang, baik komunitas Islam maupun Kristen. Penanganannya akan dilakukan secara terbuka, dibarengi dengan proses hukum.
Ketiga, untuk insiden di Tanah Runtuh akan dibentuk tim investigasi pencari fakta. Tim akan diketuai oleh pejabat dari Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Keempat, akan dihidupkan geliat sosial dan ekonomi menampung anak-anak muda yang menganggur. Pemerintah pusat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini.
Kelompok Hasanuddin Dituding Bunuh Pendeta
Rabu, 18 Oktober 2006
 Kepolisian Republik Indonesia tetap meyakini kelompok Hasanuddin sebagai pelaku penembakan Pendeta Irianto Kongkoli, yang terjadi Senin lalu.
Kepolisian Republik Indonesia tetap meyakini kelompok  Hasanuddin sebagai pelaku penembakan Pendeta Irianto Kongkoli, yang terjadi  Senin lalu. Kelompok yang tak setuju dengan perdamaian di Poso ini sebelumnya  pernah menembak Pendeta Susianti Tinulele pada 18 Juli 2004.
Juru bicara Polri, Komisaris Besar Bambang Kuncoko, mengatakan kepolisian  tidak menutup kemungkinan adanya kelompok lain yang meniru cara-cara yang  dipakai oleh kelompok Hasanuddin. "Tapi orang meniru ada kekurangannya,"  katanya. Menurut kepolisian, cara yang dipakai dalam pembunuhan kali ini mirip  benar dengan cara kelompok Hasanuddin.
Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menduga hal yang sama. "Modusnya sama  dengan pelaku penembakan Pendeta Susianti Tinulele. Gerakannya cepat, menembak  lalu menghilang," kata Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Badrodin  Haiti. Tapi ia belum berani menyimpulkan kelompok Hasanuddin di belakang  penembakan kali ini.
Kepala Polri Jenderal Sutanto pun masih bersikap hati-hati. "Polisi  mempunyai analisis, tapi kita tidak bisa menduga-duga. Nanti kalau pelakunya  sudah tertangkap, akan kami jelaskan semua," kata Sutanto  kemarin.
Hasanuddin bersama tiga temannya sejak April 2005 telah ditahan di Markas  Besar Polri. Ia diduga terlibat dalam beberapa kerusuhan di Poso, antara lain  mutilasi tiga siswi SMK Poso, peledakan bom di Pasar Tentena, dan pembunuhan  terhadap pendeta.
Menurut polisi, kelompok Hasanuddin adalah kelompok kecil yang tidak puas  terhadap Perjanjian Malino yang diprakarsai oleh Jusuf Kalla, yang ketika itu  masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Polisi menyebut  Hasanuddin berasal dari kelompok Majelis Mujahidin Poso.
Pendeta Irianto memang dikenal sebagai pendeta yang mendukung perdamaian.  Ia juga akrab dengan tokoh-tokoh Islam dan kerap menggelar acara bersama lintas  agama. Irianto tewas ditembak empat orang tak dikenal yang memakai topeng pada  Senin pagi lalu, saat ia dan anak-istrinya sedang berada di toko bangunan di  Palu.
Pemerintah segera mengambil langkah pengamanan untuk mencegah terulangnya kekerasan di Poso. "Jangan sampai situasi yang sudah baik tercoreng oleh satu-dua masalah yang tidak dikelola dengan baik," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin. ERWIN DARYANTO | SOHIRIN | DARLIS | OKTA
BIN warns of more Sulawesi unrest
Ary Hermawan and Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Jakarta
The State Intelligence Agency (BIN) warned of more attacks during Idul Fitri celebrations in religiously-divided Central Sulawesi after a Christian pastor was shot dead in the provincial capital of Palu.
The assassination of Rev. Irianto Kongkoli, secretary general of the South Sulawesi Christian Church, was linked to efforts to revive the bloody conflict in the province, BIN chief Syamsir Siregar said.
"We have to boost the security system in rural and urban areas (in Central Sulawesi), as we are informed that some groups are planning to instigate riots during Idul Fitri," he said, without elaborating.
Irianto, 40, was shot dead by masked gunmen at 8:15 a.m. while he was shopping with his wife in Palu.
Central Sulawesi Governor H.B. Paliudju, speaking in Jakarta, said the shooting was likely connected to the Sept. 22 execution of three Christian militants, Fabianus Tibo, Marinus Riwu and Dominggus da Silva, for leading a deadly attack on a Muslim village in 2000.
"I saw him (Irianto) attending Tibo's trial. He and Rev. Damanik led people to protest the executions. There is a red thread linking the case to the executions," he said.
Irianto was the third victim of deadly violence in the province after the executions. Two Muslims were killed by an angry mob a day after the executions.
However, Syamsir insisted that the murder of the pastor was related to the previous conflict between Muslims and Christians in Central Sulawesi.
He said "Ramadhan and Idul Fitri are a sensitive period and (any act of violence) could give rise to (a renewal of the conflict)" that raged in the region in 2000 and 2001, killing some 1,000 people.
He accused parties unhappy with the resolution to end the fighting of attempting to reignite tensions in the province. "They may also have certain targets," Syamsir said.
National Police chief Gen. Sutanto urged the public to wait for the results of an investigation into the murder. "We don't know yet the motives behind the incident," he said.
South Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti said the gunmen who assassinated the pastor had been identified along with their motorcycle. "It is likely that the victim was followed from his house," he said.
Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adisucipto said the situation in Central Sulawesi remained under control despite the incident and that the government had no plans to deploy more security troops to the province.
Human rights groups urged the government to form an independent fact-finding team to deal with cases of violence in the province. "The people have lost their trust in the government," Indonesian Legal Aid Institute director Patra M. Zen said.
The Indonesian Communion of Churches (PGI) condemned the slaying of the pastor and urged religious leaders in the conflict-torn region to avoid provocation and keep their followers calm over the incident.
"We convey our deepest remorse and regret over the shooting of Rev. Irianto Kongkoli," the PGI said in a statement.
It blamed the government for failing to protect its citizens. "We urge the government to tackle the fundamental problems in Central Sulawesi and tighten the security there to prevent more violence," the communion said.
Irianto was known for his close relationships with Muslim leaders in Palu. He was involved in promoting a peaceful resolution to the conflict, while often staunchly criticizing the poor performance of security forces in the province.
Hundreds of Christians and Muslims along with local government officials visited Irianto's house to express condolences on his death.***
BIN warns of more Sulawesi unrest
Ary Hermawan and Ruslan Sangadji, The Jakarta Post, Jakarta
The State Intelligence Agency (BIN) warned of more attacks during Idul Fitri celebrations in religiously-divided Central Sulawesi after a Christian pastor was shot dead in the provincial capital of Palu.
The assassination of Rev. Irianto Kongkoli, secretary general of the South Sulawesi Christian Church, was linked to efforts to revive the bloody conflict in the province, BIN chief Syamsir Siregar said.
"We have to boost the security system in rural and urban areas (in Central Sulawesi), as we are informed that some groups are planning to instigate riots during Idul Fitri," he said, without elaborating.
Irianto, 40, was shot dead by masked gunmen at 8:15 a.m. while he was shopping with his wife in Palu.
Central Sulawesi Governor H.B. Paliudju, speaking in Jakarta, said the shooting was likely connected to the Sept. 22 execution of three Christian militants, Fabianus Tibo, Marinus Riwu and Dominggus da Silva, for leading a deadly attack on a Muslim village in 2000.
"I saw him (Irianto) attending Tibo's trial. He and Rev. Damanik led people to protest the executions. There is a red thread linking the case to the executions," he said.
Irianto was the third victim of deadly violence in the province after the executions. Two Muslims were killed by an angry mob a day after the executions.
However, Syamsir insisted that the murder of the pastor was related to the previous conflict between Muslims and Christians in Central Sulawesi.
He said "Ramadhan and Idul Fitri are a sensitive period and (any act of violence) could give rise to (a renewal of the conflict)" that raged in the region in 2000 and 2001, killing some 1,000 people.
He accused parties unhappy with the resolution to end the fighting of attempting to reignite tensions in the province. "They may also have certain targets," Syamsir said.
National Police chief Gen. Sutanto urged the public to wait for the results of an investigation into the murder. "We don't know yet the motives behind the incident," he said.
South Sulawesi Police chief Brig. Gen. Badrodin Haiti said the gunmen who assassinated the pastor had been identified along with their motorcycle. "It is likely that the victim was followed from his house," he said.
Coordinating Minister for Political, Legal and Security Affairs Widodo Adisucipto said the situation in Central Sulawesi remained under control despite the incident and that the government had no plans to deploy more security troops to the province.
Human rights groups urged the government to form an independent fact-finding team to deal with cases of violence in the province. "The people have lost their trust in the government," Indonesian Legal Aid Institute director Patra M. Zen said.
The Indonesian Communion of Churches (PGI) condemned the slaying of the pastor and urged religious leaders in the conflict-torn region to avoid provocation and keep their followers calm over the incident.
"We convey our deepest remorse and regret over the shooting of Rev. Irianto Kongkoli," the PGI said in a statement.
It blamed the government for failing to protect its citizens. "We urge the government to tackle the fundamental problems in Central Sulawesi and tighten the security there to prevent more violence," the communion said.
Irianto was known for his close relationships with Muslim leaders in Palu. He was involved in promoting a peaceful resolution to the conflict, while often staunchly criticizing the poor performance of security forces in the province.
Hundreds of Christians and Muslims along with local government officials visited Irianto's house to express condolences on his death.***
Para Tokoh di Jakarta Membentuk PBPP TGPF Poso
EMERGENCY REPORT
Pelanggaran HAM dalam Keputusan Hukuman Mati
Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, Marinus Riwu
Proses politik di Indonesia sejak tahun 1998 telah memberi ruang bagi
diakuinya hak asasi manusia secara formal dengan diratifikasinya
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan kovenan hak asasi manusia, termasuk
diterbitkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Pengadilan HAM. Didalamnya
terdapat pengakuan bahwa hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dibatalkan, dicabut, dihilangkan dalam keadaan apapun dengan
alasan apapun.
Kenyataannya, pada tanggal 5 April 2001, pengadilan negeri tinggi
Palu, Sulawesi Tengah menjatuhkan hukuman mati kepada Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Ketiganya didakwa sebagai pelaku
pembunuhan di dalam mesjid di Desa Sintuwulembah, Kabupaten Poso dalam
rangkaian konflik kekerasan di daerah tersebut pada bulan Mei 2000.
Ketiganya adalah sebagian dari beberapa pihak lainnya yang juga
dijatuhi hukuman mati.
Berkenaan dengan putusan hukuman mati terhadap Fabianus Tibo,
Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu, yang rencananya akan dilaksanakan
pada hari Jumat, tanggal 22 September 2006, pukul.00.00 WIB kami
meminta perhatian komunitas dunia internasional untuk menyikapi
pelanggaran HAM dalam kasus ini dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Putusan hukuman mati terhadap Tibo Cs melalui proses hukum yang cacat :
Disebut sebagai proses hukum yang cacat karena:
a. Proses 'penangkapan' dilakukan oleh tentara melalui seorang
pendeta (cara penangkapan yang inprosedural), yang awalnya dimaksudkan
hanya untuk meminta keterangan dari ketiganya.
b. Proses pelaksanaan peradilan dibawah tekanan massa (antara lain
dengan melempari, meneriaki, mengancam ketiganya selama proses
persidangan berlangsung) dan hanya berlangsung selama 1 bulan, artinya
prosedur wajar tidak dilakukan dengan memberikan hak kepada terdakwa
untuk mempersiapkan setiap proses guna kepentingan pembelaannya;
c. Pengacara yang menjadi pembelanya adalah tunjukan polisi, yang
justru melakukan pemerasan sejumlah Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) kepada ketiganya dengan alasan untuk meringankan
dan membebaskan dari tuduhan, serta menghadirkan saksi-saksi yang
tidak hanya tidak meringankan tapi juga tidak mengetahui konflik Poso.
d. Putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan saksi yang
meringankan, termasuk tidak mempertimbangkan/mengabaikan novum (bukti
baru) yang diajukan, yang berisi pembuktian ketidakterlibatan
ketiganya dalam peristiwa yang dituduhkan;
e. proses grasi yang sangat cepat dan didesaknya pelaksanaan hukuman
mati sebelum pengajuan kembali grasi kedua setelah dua tahun.
2. Putusan hukuman mati berdasarkan kepentingan politik.
Disebut sebagai keputusan berdasarkan kepentingan politik, karena:
a. Adanya indikasi barter politik oleh pemerintah dan modal
sehubungan dengan rencana pelaksanaan hukuman mati bagi Fabianus Tibo,
Marinus Riwu, Dominggus Da Silva hampir bersamaan dengan rencana
pelaksanaan hukuman mati bagi Amrozi dkk, dan rencana penyergapan
pihak kepolisian ke "Tanah Runtuh" (tempat yang dianggap sebagai basis
kelompok Islam) di Poso. Hal ini menggambarkan adanya barter nyawa
dengan menggunakan identitas agama.
b. Penguburan fakta keterlibatan militer (TNI dan Polisi) dalam
konflik Poso dengan mengalihkan tanggung jawab konflik pada masyarakat
biasa, seperti yang terjadi terutama pada Fabianus Tibo, Marinus Riwu,
Dominggus Da Silva. Pelaksanaan eksekusi mati Tibo adalah bagian dari
strategi politik penyingkiran pelaku konflik berdarah di Poso dan
sekitarnya. Politik penyingkiran ini berkaitan dengan belum tuntasnya
penyelidikan terhadap 16 nama yang diajukan oleh ketiganya sebagai
pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa di mesjid Sintuwulembah
yang memungkinkan bisa menangkap pelaku intelektual dibalik beragam
konflik kekerasan di Poso.
c. Adanya indikasi untuk mengeskalasikan kembali kekerasan Poso
dengan mengeksploitir isyu rencana eksekusi mati ketiganya, termasuk
jika eksekusi mati jadi dilaksanakan. Ini terlihat dari respon fisik
dan teror psikologi yang sangat berbeda yang melibatkan dua kelompok
agama di Poso dan Palu dan sekitarnya. Respon yang menggunakan
identitas agama ini dipastikan sangat berbahaya bagi masa depan
perdamaian di Poso, pasca konflik berdarah sejak Desember 1998,
termasuk menutupi kemungkinan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta
Independen (TGPFI) Poso yang diusulkan oleh para aktivis HAM.
3. Negara Indonesia tidak konsisten dengan semangat pemajuan HAM
Hak hidup adalah hak asasi manusia yang fundamental dan absolut. Tidak
seorangpun dengan alasan apapun (termasuk alasan hukum) berhak
menghilangkan hak atas hidup tersebut kecuali Tuhan, sang pemberi
kehidupan. Di Indonesia, UUD 1945 pasal 28 ayat (1) dan pasal 2 UU RI
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM berbunyi: "Negara RI mengakui dan
menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan" dan Pasal 4
UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa "hak atas hidup
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable human rights)".
Kebijakan ini yang konsisten dengan sila 1 dan 2 Pancasila pasal 3
Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia PBB yang dideklarasikan pada 10
Desember 1948 serta pasal 6 ayat 1 Kovenan hak-hak sipil dan politik.
Akan tetapi pada tataran praksis, realitas penerapan hukuman pidana
mati oleh lembaga peradilan di Indonesia yang mengacu pada KUHP produk
kolonial yang sarat dengan "perendahan harkat, martabat dan kehidupan
manusia" dilanggengkan oleh aparat penegak hukum dengan me-negasi Hak
Asasi Manusia itu sendiri. Keberadaan pasal pidana mati masih tetap
dipertahankan dan diterapkan meskipun kontra produktif dengan semangat
pemajuan HAM di atas bumi ini.
4. Pelanggaran HAM, Instabilitas Indonesia dan dunia Internasional
Putusan dan rencana eksekusi hukuman mati bagi ketiganya perlu
mendapat perhatian serius dari dunia internasional untuk mencegah
negara Indonesia menjadi negara yang gagal dalam pemajuan HAM,
mencegah meningkatnya sektarianisme (hal ini terlihat dari
meningkatnya aksi yang berbasis identitas keagamaan yang cenderung
anarkis diberbagai tempat di Indonesia, terutama di wilayah Poso
sehingga ), mengakarnya fundamentalisme yang selanjutnya berakibat
pada instabilitas regional dan internasional.
Adalah merupakan bukti bahwa Negara RI telah melakukan pelanggaran
HAM, dengan cara merampas hak hidup Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan
Dominggus Da Silva melalui putusan peradilan (by justice), ketika
proses peradilan dilakukan tidak fair, dan menerapkan pidana mati
sebagai salah satu sistem dalam pemidanaan.
Seluruh peristiwa konflik, kekerasan dan pembantaian warga sipil di
Poso adalah tanggung jawab negara. Negara bertanggung jawab untuk
memberi rasa aman bagi warganya. Negara harus bertanggung jawab pada
akibat yang telah terjadi yaitu hilangnya banyak jiwa karena negara
telah melakukan "pembiaran" atas peristiwa kekerasan di Poso dan
sekitarnya sejak awal munculnya konflik.
Sebagai respon atas realitas di atas, kami mendesak KOMISI HAM PBB,
AMNESTY INTERNASIONAL, PARLEMEN UNI EROPA, serta KOMUNITAS HAM
INTERNASIONAL, agar MEMBERI PERHATIAN SERIUS TERHADAP KASUS INI DAN
MENYATAKAN SIKAP DAN TINDAKAN YANG NYATA DAN TEGAS TERHADAP PEMERINTAH
INDONESIA SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB TERHADAP KEMANUSIAAN.
Jogjakarta, 20 September 2006
Solidaritas Masyarakat Anti Hukuman Mati (SMAHT)
Jl. Kebon Agung km 11, Sumberdadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Yogyakarta, INDONESIA
Contact Person : Lian Gogali +62 81...
Bambang +62 81...