Friday, November 03, 2006

TPF Targetkan Ungkap Insiden Tanah Runtuh dalam 10 Hari

Jumat, 3 Nov 2006

Penulis: Mahfud

JAKARTA- Tim Pencari Fakta Insiden menargetkan dalam 10 hari bisa mengungkap kejadian sebenarnya dalam peristiwa baku tembak Brimob dengan masyarakaat di Tanah Runtuh, Poso, 22 Oktober lalu. Dalam insiden ini seorang warga tewas dan tiga luka-luka.

"Tim sudah berada di Poso kemarin (Kamis, 2/10) dan mudah-mudahkan fakta kejadian bisa terungkap dalam 10 hari," kata Ketua TPF Budi Utomo yang juga Deputi Keamanan Nasional Menko Polhukam, Jumat (3/11).

Budi mengaku TPF sudah bertemu sejumlah pihak untuk menggali informasi seputar kejadian yang memicu Poso kembali memanas akhir bulan lalu. Pertemuan tersebut antara lain dilakukan dengan tokoh-tokoh mayarakat, tokoh agama, dan Polri. Selain itu pertemuan dengan Danrem, Wakil Ketua DPR dan Muspida setempat, juga dilakukan.

"Terutama pertemuan dengan dua belah pihak yaitu masyarakat dan Polri," tuturnya.

Budi mengaku dari serangkaian pertemuan tersebut, TPF belum bisa menarik kesimpulan seputar bentrokan tersebut. Menurut dia, selain mencari informasi dari dua belah pihak dan juga instansi terkait lainnya, TPF juga harus menggali informasi dari tempat kejadian perkara (TKP).

Budi menyatakan TPF akan bekerja seobyektif mungkin dengan tidak berpihak kepada siapa pun baik kepada Polri maupun masyarakat. Untuk itu temuan TPF yang obyektif tersebut diharapkan menumbuhkan kembali kepercayaan antarberbagai pihak yang sempat saling curiga.

Kesepakatan pertemuan

Apalagi, tutur Budi, pembentukan TPF merupakan kesepakatan yang muncul dalam pertemuan antara Wapres Jusuf Kalla dengan tokoh masyarakat dan agama di Palu beberapa waktu lalu.

Dalam pertemuan tersebut, semua pihak menyerahkan penyelidikan insiden Tanah Runtu kepada TPF. Pasalnya baik antara masyarakat dan Polri memberikan penjelasan yang berbeda seputar baku tembak antara Brimob dan masyarakat di Tanah Runtuh.

Budi optimistis TPF bisa menghasilkan temuan obyektif karena anggota TPF juga dari berbagai unsur. Selain dari Menko Polhukam, anggota TPF juga ada tokoh masyarakat, tokoh agama, MUI Poso, BIN, Depdagri dan Provos Mabes Polri.

"Temuan akan obyektif karena kami betul-betul independen. Dari temuan itu diharapkan muncul kembali kepercayaan antarberbagai pihak," tuturnya. (Fud/OL-02).

Karut-marut Kekerasan Poso

Jumat, 3 Nov 2006

Arianto Sangaji

Modus baru kekerasan muncul di Poso: warga berhadapan dengan aparat keamanan.

Bentrok antara aparat kepolisian dan warga di Kelurahan Gebangrejo, Kota Poso (22-23/10/2006), mengakibatkan seorang warga tewas, tiga lainnya luka-luka (termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah mobil polisi dan beberapa sepeda motor terbakar. Buntutnya, sejumlah organisasi massa Islam dan partai politik di Poso meminta pasukan BKO (bawah komando operasi) ditarik dari Poso.

Sebelumnya, warga juga menyerang aparat kepolisian di Taripa, Kecamatan Pamona Timur (29/9/2006). Massa membakar dua mobil, beberapa sepeda motor, dan melempari helikopter milik kepolisian. Versi warga, kemarahan massa dipicu kekecewaan karena Kepala Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog dengan mereka perihal eksekusi Tibo Cs.

Modus baru kekerasan ini harus dijelaskan sebagai puncak gunung es dari ketegangan yang sudah berlangsung lama.

Pertama, karena ketidakmampuan atau ketidakmauan aparat keamanan menyelesaikan berbagai tindakan teror yang melanda Poso dan Palu beberapa tahun terakhir. Publik menganggap aparat keamanan gagal mengungkap aktor dan motif di balik tindak kekerasan—pengeboman, penembakan, dan pembunuhan—yang telah memakan korban tewas puluhan orang dan ratusan orang luka-luka.

Kedua, dalam mengungkap kasus-kasus teror dan kekerasan, aparat kerap salah dalam bertindak dan berlebihan. Beberapa orang disiksa dan ditembak dengan tuduhan terlibat kekerasan tertentu. Belakangan, mereka dilepaskan bukan karena lemah alat bukti, tetapi karena aparat salah menangkap pelaku. Kasus-kasus semacam ini menyuburkan ketidakpuasan warga terhadap aparat keamanan.

Ketiga, warga menduga ada keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan tertentu. Kasus penculikan dan pembunuhan warga Desa Toyado, Desember 2001, serta penembakan terhadap Ivon Nathalia dan Siti Nuraini, November 2005, merupakan contoh nyata keterlibatan aparat keamanan dalam kekerasan di Poso. Buruknya penuntasan hukum kasus-kasus ini tidak saja membuat warga merasa diperlakukan tidak adil, tetapi juga menyuburkan keyakinan, aparat memelihara kekerasan.

Tiga faktor itu dibarengi berbagai ekses turunan operasi pemulihan keamanan di sana, memupuk ketidakpuasan warga atas aparat. Proteksi bisnis dan bisnis proteksi, pelecehan seksual terhadap perempuanperempuan muda, dan aneka kriminal ekonomi, membentuk semacam memori kolektif, aparat keamanan kerap merupakan beban, bukan pemecah masalah.

Pemerintah lemah

Sebagai reaksi atas kekerasan-kekerasan terbaru, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, kekerasan di Sulawesi Tengah bukan konflik, tetapi teror yang dilakukan orang-orang tidak bertanggung jawab (Kompas, 30/10/2006).

Bagi kita, tidak penting apakah itu konflik atau teror. Pertama, karena kekerasan telah memakan korban jiwa tidak sedikit, sementara pemerintah tidak bisa menjamin keselamatan jiwa di masa depan. Ancaman teror menghantui siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

Kedua, pemerintah atau pejabat publik seperti Kalla perlu mewujudkan political will melalui tindakan nyata untuk membongkar motif dan aktor di balik kekerasan. Bukan dengan mengulangi pernyataan-pernyataan abstrak dan seremonial, yang tidak saja membingungkan, tetapi juga tidak menyumbang apa-apa terhadap jaminan rasa aman.

Ketiga, pemerintah perlu mempelajari anatomi kekerasan Poso secara mendalam, agar tidak melihat kekerasan secara simplistis. Misalnya, dengan menyatakan maraknya kekerasan sebagai tindakan teror oleh kelompok kecil. Toh, semua tahu, kekerasan di sana menjadi tunggangan "pasar" dan "kuasa".

Jalan keluar

Bagaimanapun, dengan merajalelanya kekerasan Poso, pemerintahan Yudhoyono-Kalla adalah contoh paling nyata dari pemerintahan yang lemah. Pemerintah tak mampu mengendalikan dan menggunakan institusi keamanan dan ketertiban untuk menciptakan rasa aman. Biasanya, sebuah rezim yang lemah ditandai fragmentasi dan rivalitas yang keras antaraktor dan institusi-institusi negara, termasuk antarinstitusi represi negara.

Menghadapi kekerasan Poso yang karut-marut, selayaknya pemerintah menempuh beberapa jalan keluar. Pertama, membenahi institusi penegak hukum di Poso. Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar wajah teror dan kekerasan di Sulawesi Tengah adalah buramnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum sering tidak berkutik mengungkap motif dan aktor di balik teror dan kekerasan, baik karena lemahnya sumber daya maupun karena campur aduknya dengan kepentingan di luar hukum. Sejumlah orang ditahan, sebagian diseret ke pengadilan dengan tuduhan terlibat kekerasan dan teror, tetapi kerap bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka amat lemah. Cerita pun sering berakhir di situ.

Kedua, aparat keamanan yang dikerahkan ke Poso hendaknya lebih menonjolkan pendekatan penegakan hukum dan secara proaktif menciptakan keamanan dan ketertiban melalui dialog, dibanding reaksi penggunaan kekerasan. Konsep community police yang diperkenalkan mantan Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Oegroeseno sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan, dibanding mobilisasi pasukan bersenjata.

Ketiga, pemerintah perlu membuka diri guna mencari penyelesaian kekerasan Poso, melibatkan pihak lebih luas. Artinya, pemerintah perlu menempuh solusi penyelesaian Poso dengan tidak bertumpu pada pendekatan keamanan saja. Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan adalah pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPFI) di bawah otoritas presiden, evaluasi menyeluruh atas kinerja aparat keamanan, dan pemulihan sosial ekonomi, termasuk reintegrasi aneka kelompok bekas kombatan.

Arianto Sangaji
Direktur Pelaksana Yayasan Tanah Merdeka, Palu

1.009 Rumah dari TNI AD dan Depsos untuk Pengungsi Poso

Kamis, 2 Nov 2006

Penulis: Agustinus

POSO-KSAD Jenderal Djoko Suyanto dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Kamis (2/11) meresmikan proses pembangunan 1.009 Rumah di Kabupaten Poso. Rumah-rumah tersebut ditujukan bagi masyarakat eks pengungsi korban konflik di sana.

Pembangunan rumah tersebut rencananya dilaksanakan dalam dua tahap. Pertama, akan dibangun 586 unit rumah dan tahap kedua 423 unit. Rumah-rumah tersebar di beberapa tempat yang mencakup sepuluh kecamatan dan 68 desa di wilayah Poso.

Pembangunan 1.009 rumah yang memakan biaya Rp15 miliar tersebut merupakan bagian dari kerja sama TNI AD, pemerintah setempat dan Departemen Sosial melalui program Keserasian Sosial.

"Saya sudah perintahkan personil TNI AD setempat untuk bahu-membahu bersama Departemen Sosial serta pemerintah setempat untuk membangun perumahan tersebut," kata KSAD Djoko Santoso di Poso, Kamis.

Menurut Djoko, awalnya pihak TNI AD menargetkan pembangunan rumah itu selesai Desember 2006. Namun akibat kurangnya bahan baku khususnya kayu, target diundur hingga Januari 2007.

Sebelumnya, TNI AD juga telah membangun 100 Rumah Tinggal Sementara (RTS), satu unit gereja, satu unit masjid dan tiga unit MCK di Desa Matako, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah.

RTS itu ditujukan sebagai tempat tinggal sementara bagi eks pengungsi Poso sebelum 1.009 rumah selesai dibangun. Rencananya, Jumat (3/11) KSAD dan Mensos akan mengunjungi lokasi 100 RTS itu.

Program bantuan

Menteri Bachtiar Chamsyah memaparkan selain membangun 1.009 rumah tersebut, pihaknya juga memberikan bantuan uang tunai. Yakni Rp4 juta untuk masing-masing 1.009 KK eks pengungsi korban bencana konflik Poso.

Selain itu, Depsos juga menyerahkan 1.809 paket berisi uang tunai masing-masing Rp5,6 juta kepada masyarakat lokal. Uang bantuan tersebut, kata Bachtiar, harus digunakan untuk membuat kegiatan bersama-sama oleh masyarakat lokal dan masyarakat eks pengungsi. Dengan tujuan membangun kembali kekerabatan dan kesetiakawanan masyarakat yang sempat hilang pasca konflik Poso.

"Penerima bantuan segera melapor bila ada potongan dana bantuan oleh oknum. Karena biaya untuk seluruh kegiatan program ini sudah dianggarkan. Kalau ada potongan, segera lapor," tegas Bachtiar.

Bachtiar menambahkan sebenarnya program sosial kepada masyarakat Poso pascakonflik itu program jangka panjang hingga setiap tujuannya tercapai. Namun Bachtiar yakin program bantuan Poso itu takkan berlangsung lama seiring membaiknya situasi Poso.

"Jaminannya usaha pemerintah yang terus-menerus berusaha merevitalisasi Poso, baik pembangunan fisik maupun masyarakat," jelas Bachtiar. (MJ/OL-02).

Poso dan Kinerja Pimpinan Nasional

Kamis, 02 Nov 2006

AKHIRNYA, polisi mengungkapkan adanya dua kelompok yang membuat kerusuhan berdarah di Poso. Inilah kelompok yang terkait dengan 13 kasus, meliputi 10 teror bom dan serangkaian pembunuhan serta perampokan sejak 2001.

Kedua kelompok itu adalah kelompok Tanah Runtuh dan kelompok Kompak Kayamanya. Total tersangka pelaku teror Poso sebanyak 29 orang, yaitu yang terbanyak 26 tersangka berasal dari kelompok Tanah Runtuh, dan sisanya tiga pelaku berasal dari kelompok Kompak Kayamanya.

Polisi telah meminta bantuan tokoh Islam untuk menangkap 29 tersangka pelaku teror itu. Polisi juga telah membeberkan nama-nama para tersangka, dan telah mengultimatum 29 orang itu untuk diserahkan atau menyerahkan diri dalam satu minggu.

Umumnya buron tentu enggan menyerahkan diri. Jika pelaku kejahatan gampang diultimatum, lalu menyerahkan diri dalam seminggu sesuai ultimatum, kiranya kejahatan di dunia ini lebih mudah ditumpas, dan polisi mungkin tak penting-penting amat.

Teror dan pembunuhan yang telah berlangsung lima tahun di Poso bukanlah kejahatan yang dapat ditaklukkan sepucuk, dua pucuk, bahkan 1.000 pucuk ultimatum. Kita yakin polisi tahu benar bahwa kejahatan tidak dapat dibereskan dengan omongan.

Ultimatum perlu, tetapi tidak cukup. Polisi harus melakukan operasi perburuan dan penangkapan sehingga 29 tersangka pelaku teror Poso itu akhirnya dapat dilumpuhkan dan diadili di meja hijau.

Dalam menangkap 29 tersangka pelaku teror Poso itu, bukan hanya menyangkut prestasi polisi. Untuk membuat Poso kembali damai dan hidup dalam tertib sosial, bukan pula cuma kinerja polisi. Sebaliknya, kegagalan membereskan konflik di Poso, pun bukan semata kegagalan polisi.

Poso menyangkut ukuran yang jauh lebih besar, yaitu prestasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mengapa? Sekali lagi, karena memang kedua petinggi inilah semasa menjadi menteri koordinator yang menjadi saksi terwujudnya kesepakatan Malino, perjanjian damai Poso. Namun, ternyata, kesepakatan damai itu hanya indah di atas kertas.

Sekarang masalah Poso ditangani langsung oleh Jusuf Kalla dalam kapasitas yang jauh superior yaitu sebagai wakil presiden hasil pilihan rakyat. Sebuah bukti komitmen dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesepakatan Malino bukan cuma elok di atas kertas, melainkan elok nian dalam kenyataan.

Kita ingin kenyataan itu segera terwujud. Kita ingin sejarah mencatat, justru di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dua konflik Aceh dan Poso berhasil dibereskan, sehingga damai nan indah bersemi di sana.

Pulihkan Poso, Pemerintah Kucurkan Rp68 Miliar

Kamis, 2 Nov 2006

REKONSILIASI POSO: Mensos Bachtiar Chamsyah (kiri) bersama KSAD Jenderal Joko Santoso (kanan) disambut Gubernur Sulteng HB Paliudju saat tiba di Bandara Mutiara Palu, Sulawesi Tengah, Kamis.


Pemerintah mengalokasi dana sekitar Rp68,090 miliar untuk mendanai program keserasian sosial bagi korban kerusuhan dan eks-pengungsi Poso dan Tojo Unauna, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, di Palu, Kamis, mengatakan bantuan yang menfokuskan pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat ini bersumber dari Depsos sebesar Rp18 miliar dan Rp50 miliar yang dijanjikan Wapres Jusuf Kalla saat berlangsung pertemuan dengan tokoh masyarakat Poso di Palu awal pekan ini.

"Seluruh dana tersebut diperuntukkan pada tahun anggaran 2006 ini," kata Chamsyah.

Menurut dia, pemerintah tidak menentukan jenis usaha peningkatan ekonomi yang mesti dilakoni oleh masyarakat Poso dan Tojo Unauna, masyarakat memilih sendiri usaha-usaha ekonomi produktif yang dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka.

"Biasanya jenis usaha tergantung lokasi domisili warga, jika tinggal di daerah pantai berarti butuh alat penangkap ikan, jika berdagangan di pasar berarti butuh modal usaha. Prinsipnya pemerintah hanya menyediakan dana segar," katanya.

Dirjen Bantuan Jaminan Sosial Depsos, Rozali Situmorang, menjelaskan sebanyak 900 kk (Kepala Keluarga) di Kabupaten Poso dan 909 kk di Kabupaten Tojo Unauna akan mendapat bantuan program keserasian sosial korban bencana kerusuhan dan eks pengungsi.

Warga penerima bantuan di Poso tersebar di Kelurahan Gebang Rejo sebanyak 317 kk, Kelurahan Kayamanya (27 kk), Kelurahan Kawua (32 kk), Desa Mapane (65 kk), Desa Silanca (73 kk), Desa Pamona (351 kk), dan Desa Petirodongi (35 kk).

Sementara di Kabupaten Tojo Unauna tersebar di Desa Matako sebanyak 327 kk, Desa Galuga (143 kk), Desa Tanamawu (72 kk), Desa Malewa (140 kk), Desa Korondoda (127 kk), Desa Dataran Bugi (100 KK).

Saat konflik Poso pecah akhir tahun 1998, wilayah Kabupaten Tojo Unauna masih bagian dari Kabupaten Poso.

Lebih lanjut Situmorang mengatakan baha setiap keluarga penerima bantuan akan mendapatkan uang tunai Rp4 juta atau bentuk lain yang senilai, bantuan ini untuk pemberdayaan atau penguatan ekonomi eks pengungsi.

Selain itu, setiap keluarga penerima bantuan juga akan mendapat dana pembiayaan kegiatan fisik maupun non-fisik Rp5,68 juta, dengan mekanisme swakelola oleh penerima bantuan dan masyarakat lokal. Total dana yang dilakokasi untuk membiayai 1.809 paket kegiatan mencapai Rp10,275 miliar.

"Bentuk kegiatan direncanakan, diputuskan dan dilaksanakan secara bersama-sama dengan bantuan pendamping," ujar Situmorang.

Situmorang menjamin potensi penyimpangan bantuan dana program keserasian tersebut sangat kecil sebab makanisme yang diterapkan sangat ketat, nama dan alamat penerima bantuan sudah diteliti lebih awal sehingga mencegah adanya penerima fiktif.

Sementara bantuan paket kegiatan kepada kelompok masyarakat menggunakan sistem voucer yang pencairan dananya dilakukan melalui BRI setempat.

"Dengan pola ini dapat memperkecil ebocoran dana bantuan sosial tersebut," katanya.



Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Djoko Santoso dan Mensos Bachtiar Chamsyah, Kamis siang, transit di Bandara Mutiara Palu dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Kabupaten Poso.

Djoko Santoso dan Bachtiar Chamsyah akan melakukan serangkaian kegiatan selama dua hari kunjungan kerjanya di bekas daerah konflik itu, diantaranya peletakan batu pertama pembangunan 1.009 unit RTS (rumah tinggal sementara) bagi masyarakat korban kerusuhan di desa Kapompa Kota Poso.

Pembangunan RTS yang tersebar di 68 desa dalam wilayah Kabupaten Poso itu akan dikerjakan oleh satu batalyon (sekitar 600 personil) dari Zeni Tempur Kodam VII/Wirabuana yang terlibat dalam kegiatan bakti manunggal TNI. (Ant/OL-02)

Kemungkinan Ada Pihak Ketiga Bermain di Poso

Kamis, 02 Nov 2006

Masih terus terjadinya eskalasi aksi teror di Poso, Palu dan sekitarnya, bisa saja karena adanya permainan pihak ketiga, baik itu individu maupun kelompok-kelompok tertentu.

"Kemungkinan keterlibatan pihak ketiga amat mungkin, sebab situasi di sana teramat rentan," kata Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Tengah (Sulteng), M Ichsan Loulembah di Jakarta, Kamis.

Hal senada juga diutarakan rekannya Marhany VP Pua, Anggota DPD dari Sulawesi Utara (Sulut), seraya mengatakan bahwa proses penuntasan aksi terror dengan menangkap dan segera mengadili para pelaku mestinya jangan diulur-ulur.

"Kita jangan terbiasa hanya beretorika. Ini masalahnya bisa meningkat jadi lebih krusial, jika proses pengungkapan dan penuntasan para pelaku teror seolah-olah sengaja berlama-lama. Kok dulu ketika teror Bom Bali langsung dengan cepat bias ditemukan para pelakunya," Tanya Marhany Pua dengan nada jengkel.

Tiga style

Secara terpisah, Ichsan Loulembah meminta pihak berwenang, agar segera mengombinasikan apa yang dinamakannya sebagai 'tiga style' demi mempercepat penuntasan masalah Poso tersebut.

"Tiga style dimaksud, masing-masing 'Kalla Style' yang intinya pendekatan hati ke hati. Lalu 'Pastika Style', yang secara professional day by day memberi progress report mengenai semua langkah yang berhasil dilakukan, berapa penjahat ditangkap dan seterusnya. Lalu jangan pula dilupakan ada 'Sarundajang Style', yang mengedepankan aspek-aspek hakiki kemanusiaan, persahabatan dan kebersamaan sebagai sesama ciptaan Tuhan," kata Ichsan Loulembah.

Gaya Kalla, telah pernah dikonkretkan lewat Perjanjian Malino I dan II untuk kasus Ambon serta Poso. Sedangkan Gaya Pastika, berkenaan dengan operasional tugas mengatasi Bom Bali. Sementara Gaya Sarundajang, berhasil mendinginkan dan sekaligus menuntaskan hingga ke akar-akar konflik di Maluku Utara maupun Maluku, ketika birokrat ini ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur berturut-turut di dua daerah konflik tersebut.

"Ketiga gaya ini berbeda, tetapi sama dalam hal penting, yakni memiliki kemampuan komunikasi, negosiasi dan persuasi," tambah Ichsan Loulembah. (Ant/OL-02)

Pemerintah Siapkan Rp 100 Miliar untuk Pembangunan Poso

Kamis, 2 Nov 2006

[JAKARTA] Pemerintah akan menganggarkan dana sebesar Rp 100 miliar untuk pembangunan di Poso, Sulawesi Tengah menyusl terjadinya beberapa konflik di wi- layah tersebut. Rencananya dana itu akan dapat dicairkan pada tahun 2007 jika mendapat persetujuan dari DPR.

Dana itu akan digunakan untuk pembangunan fisik, pemberdayaan masyarakat secara mental, psikis, pengetahuan dan kesempatan untuk ikut membangun. Karena jika masyarakat di wilayah itu sejahtera maka konflik dapat dihentikan. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakrie, dalam acara Halal Bihalal di kantornya, Jakarta, Rabu (1/11/).

Menurut Aburizal, perdamaian itu akan terwujud jika ada kesetaraan dalam bidang kesejahteraan, seperti apa yang dilakukan oleh Muhammad Yunus, peraih Nobel dari Bangladesh.

Rencananya dana untuk pembangunan itu akan dipegang oleh pemerintah pusat, namun usulan program pembangunan itu harus berasal dari pemerintah daerah. "Daerah tidak memiliki wewenang langsung terhadap penggunaan dana itu," jelasnya.

Dirjen Bimas Islam Depag kembali mengingatkan bahwa substansi konflik Poso dan sekitarnya bukan masalah agama, tetapi campuran berbagai masalah. "Persoalan itu seperti keadilan ekonomi, politik, penduduk asli-pendatang, kota-desa, pusat-daerah atau Islam-Kristen," kata Dirjen Bimas Islam Depag, Prof Dr Nasaruddin Umar di Jakarta, Rabu seperti dikutip Antara.

Peluang-peluang konflik tersebut, ujarnya, bisa dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu. Bahkan sekarang sebenarnya Poso itu hanya persoalan segelintir orang yang menjadi persoalan nasional.

Ia mengatakan setuju dihidupkannya kembali Konsep Malino di mana para tokoh agama dan masyarakat bersepakat untuk berkontribusi dalam mengamankan komunitas di sana.

Nasaruddin juga menyatakan, perlunya ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan Poso yang masih terus berlarut-larut.
Wapres Jusuf Kalla, ujarnya, sudah menawarkan dalam pertemuan baru-baru ini kepada masyarakat Sulawesi Tengah, kalau mau terus berperang pemerintah mempersilakan dan akan menarik seluruh pasukan dari Poso. [K-11]

Kamis, 2 Nov 2006


Jakarta, Menko Kesra Aburizal Bakrie me­niru langkah peraih hadiah nobel asal Bang­ladesh Muhammad Yunus untuk rehabilitasi Po­so. Masyarakat akan diberdayakan untuk me­rehabilitasi daerahnya. Demi berhasilnya ren­cana tersebut, dana Rp 100 miliar pun telah disiapkan.

Setelah Poso diguncang konflik ber­ke­pan­jangan, kegiatan perekonomian terganggu. Ba­nyak rumah, rumah sakit dan tempat ibadah ru­sak. Kini, kantor kementrian kesejahteraan rak­yat mulai membenahinya.

“Pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menangani masalah per­ekonomian seperti penyediaan lapangan pekerjaan, perbaikan sarana dan prasarana yang rusak,” tegas Menko Kesra Aburizal Bakrie saat menghadiri acara Halal Bil Halal, kemarin.

Lebih lanjut, dia mengatakan, pemerintah akan memberdayakan masyarakat untuk me­la­kukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Menurut Ical, gerakan anti terorisme dan pro perdamaian bisa berhasil bila masyarakat sudah sejahtera.

“Se­perti yang menang nobel dari Bangladesh ke­marin, dia bisa memberdayakan ma­sya­ra­katnya sehingga masyarakatnya bisa sejahtera. Lalu mereka bisa menjaga perdamaian dan melakukan gerakan anti tero­ris­me,” kata Ical, panggilan akrab Abu­rizal Bakrie, mencoba meniru langkah Muhammad Yunus.

Dana Rp 100 miliar yang telah di­siapkan itu, menurut rencana akan di­gu­nakan untuk memberdayakan ma­sya­rakat bukan hanya perbaikan fisik saja.
“Fokus anggaran itu untuk pem­ber­da­yaan masyarakat secara mental, psi­kis, pengetahuan dan kesempatan un­tuk membangun,” tegas menteri yang pernah jadi ketua Kadin ini.

Dana itu akan diberikan atas usulan dae­rah.
“Penggunaan dana Poso harus melalui program yang diusulkan untuk daerah. Tapi bukan berarti uangnya langsung dipegang daerah,” timpal Ical. Menurutnya, uang tersebut tetap dipegang pemerintah pusat yang baru diserahkan bila daerah mengusulkan program tertentu.

Mengenai perkembangan pem­ba­ngu­nan sarana ibadah, Ical mengaku, su­dah banyak masjid maupun gereja yang selesai dibangun.
“Enam bulan la­lu saya ke Poso, pembangunan mas­jid dan gereja sudah mulai separuh se­lesai, mungkin sekarang sudah se­le­sai,” tukasnya dengan nada yakin. Sa­yangnya, ketika ditanya berapa jumlah ma­sjid dan gereja yang selesai di­ba­ngun, Ical mengaku lupa. RM

Kapolri Pegang Janji Adnan Arsal Serahkan Buronan Teror Poso

Rabu, 1 Nov 2006

Jakarta - Kapolri Jenderal Pol Sutanto memegang komitmen Ustad Adnan Arsal untuk menyerahkan buron pelaku teror di Poso, Sulawesi Tengah. Sutanto berjanji tidak akan ada penyiksaan terhadap pelaku-pelaku yang ditangkap.

"Seperti yang disampaikan saat bertemu dengan Wapres, dia punya komitmen kuat untuk menyerahkan orang yang kita cari," kata Kapolri usai melantik 4 Kapolda di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarat Selatan, Rabu (1/11/2006).

Adapun Kapolda yang dilantik adalah Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Soenarko, Kapolda Bali Irjen Pol Paulus Purwoko, Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol Zainal Abidin, dan Kapolda Gorontalo Kombes Pol Hendra Sukmana.

Dalam kesempatan itu Kapolri menilai Ustad Adnan Arsal sebagai tokoh masyarakat tidak akan berkhianat terhadap komitmennya. "Apabila menginginkan Poso damai dan tenang dia tentu akan membantu," tandas Kapolri.

Sutanto menambahkan saat ini Polri tengah memburu 26 buron pelaku teror di Poso. Daftar nama buronan telah diserahkan ke Adnan Arsal yang merupakan mertua salah satu tersangka pembunuhan pendeta Susianti di Poso, Hasanuddin.

Sementara itu Polri sebelumnya telah menangkap 32 tersangka pelaku teror antara lain 15 orang terlibat teror di Poso, dan 17 sisanya terlibat teror di Palu.(san/nrl)

TRUBUN TIMUR MAKASSAR

Rabu, 1 Nov 2006

Polisi Ungkap Lagi Pembunuh Pendeta
Juga Beberkan Pelaku Aksi Teror di Poso dan Palu; 15 Orang Dinyatakan Tersangka, 29 Orang Masuk DPO; Sebut Keterlibatan Kelompok Tana Runtu dan Kayamanya; Mabes Polri Minta Bantuan Ustad Adnan Arsal Untuk Tangkap Pelaku Aksi Teror
Makassar, Tribun -- Markas Besar (Mabes) Polri mengumumkan 15 nama tersangka yang dituding sebagai pelaku teror di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (31/10) malam. Mereka juga dituduh terlibat kasus penembahan Pendeta Susianti Tinulele, perampokan, dan aksi teror lainnya.
Wakil Kepala Divisi (Wakadiv) Humas Mabes Polri Brigjen Polisi Anton Bahrul Alam melansir nama-nama tersebut di Poso. Anton berada di Poso dalam dua hari terakhir.
Jenderal bintang satu ini mengatakan, dari 15 orang yang dinyatakan sebagai tersangka, tujuh di antaranya dari kelompok Tanah Runtu dan delapan lainnya berasal dari kelompok Kayamanya. Para tersangka sudah ditahan.
Tujuh orang yang berasal dari kelompok Tanah Runtu disebut- sebut sebagai Pendeta Susianti pada 17 Juli 2004 lalu. Pendeta asal Tentena, Poso ini ditembak saat berkhotbah di Gereja Efata, Palu Selatan.
Mereka yang berasal dari kelompok ini adalah Hasanuddin, Haris, Irwanto Irango, Ipong alias Ponirun, Yusuf Asapa, Rahmat Indra, dan Sudirman alias Aco.
Sedang delapan tersangka kelompok Kayamanya terlibat kasus perampokan uang hasil penjualan cokelat di Desa Tomini, Kabupaten Poso.
Mereka adalah Fadli Barasalim, Yusuf Said alias Budi, Sakur, Farid Ma'ruf, Yusman Sihed, Iswadi Ma'ruf, Rusli Takwil alias Uji, dan Iset.
"Kita juga masih mengejar 29 orang lainnya yang masuk DPO (daftar pencarian orang). Kami mencurigai mereka masih berada di Tana Runtu dan Kayamanya," kata Anton.
Tana Runtu dan Kayamanya adalah nama dua kampung di Kecamatan Poso Kota atau di ibu kota Kabupaten Poso. Nama kampung Tana Runtu juga mencuat saat terjadi insiden bentrokan antara pasukan brimob dengan warga setempat yang menyebabkan seorang warga tewas terkena tembakan.
Ustad Arsal
Di Jakarta, Kapolri Jenderal Sutanto mengungkapkan, pihaknya meminta bantuan tokoh Muslim Poso, Ustad Adnan Arsal, untuk mencari buronan kerusuhan Poso.
Kapolri mengakui, polisi telah menyerahkan daftar nama buronan tersebut kepada Ustad Arsal yang juga pemimpin Pondok Pesantren Amanah di Tanah Runtu.
Ustad Adnan Arsal adalah mertua Hasanuddin, salah satu tersangka penembakan Pendeta Susiati. Adnan dikenal sebagai tokoh informal yang dikenal memiliki pengarug kuat di kalangan pemimpin dan umat Islam Poso.
Dalam pertemuan tokoh Muslim di Kantor Bappeda Sulteng dengan Wapres Jusuf Kalla yang didampingi sejumlah menteri dan Kapolri, Minggu (29/10) malam lalu, Ustad Adnan menyatakan kesiapannya membantu aparat kepolisian mencari buronan polisi terkait sejumlah aksi teror.
"Ustad Adnan bahkan meminta Kapolri untuk menyerahkan daftar DPO kepadanya agar bisa membanty mencari dan menyerahkan mereka agar bisa diproses sesuai hukum yang belaku," kata Sofyan Farid Lembah, tokoh Muslim yang juga ikut dalam pertemuan itu.
Adnan berpendapat, para tersangka kerusuhan Poso yang rata-rata masih buron harus ditangkap demi penegakan hukum.
Beberapa waktu lalu Mabes Polri telah membuat dan menyiarkan rekaman penyesalan Hasanuddin atas keterlibatannya dalam kerusuhan Poso. Dalam pesannya, Hasanuddin sempat mengimbau teman-temannya yang masih ada di luar agar segera menyadari kesalahannya dan menyerahkan diri.

Semi Investigasi
Secara terpisah Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Paulus Purwoko menyatakan, permintaan bantuan kepada Adnan untuk menangkap para buronan kerusuhan Poso merupakan semi investigasi.
"That is the art of investigation on law enforcement, yaitu bisa menggunakan cara paksa untuk menangkap seseorang. Kalau ada risikonya ya menggunakan mediator," katanya.

Kondusif
Sementara itu, suasana di Poso dilaporkan kondusif. Aktivitas warga berlangsung normal. Arus lalu lintas juga tetap ramai. Namun polisi masih ditempatkan di sejumlah titik.
Pasar dan sejumlah tempat umum lainnya tetap ramai meski sehari sebalumnya terjadi aksi demo besar-besaran meminta penarikan pasukan brimob yang di-BKO-kan di wilayah ini.
Menurut Anton, polisi masih tetap melakukan pengamanan karena tidak kecolongan. "Secara umum, suasana di sini relatif aman. Tapi polisi masih tetap melaksanakan tugas pengamanan terutama di tempat strategis," katanya.
Dikonfirmasi terpisah, Kapolres Poso AKBP Rudi Sufahriadi juga memberi penjelasan serupa. Saat dihubungi dia mengaku sedang menggelar rapat dengan jajaran Polres Poso.
Kendaraan umum jenis bus dan truk yang melayani trans Sulawesi dari Sulsel ke Palu dan Sulawesi Utara juga terlihat ramai melintas di kawasan Poso.

Lapor Komnas
Dalam perkembangan lain, Mislan (23), korban penembakan saat terjadi bentrok antara anggota brimob dengan warga di Kota Poso 23 Oktober lalu, melapor ke kantor perwakilan Komnas HAM di Palu.
Mislan datang ke perwakilan Komnas HAM didampingi Harun Nyak Itam Abu dari Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng,serta sejumlah aktivis Kaukus Ummat Anti Kekerasan.
Menurut pria yang mengalami luka tembak itu dirinya mengadu ke Komnas HAM untuk memperoleh keadilan sebab Kapolres Poso selaku pengendali operasi pasukan brimob BKO tidak menjatuhkan sanksi kepada pelaku penembakan.
"Saya berharap dengan melaporkan kasus ini ke Komnas HAM bisa mendapat keadilan," ujarnya.
Sedangkan Harun menilai bentrokan warga dengan brimob di Tanah Runtu, Gebang Rejo, merupakan bentuk pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM yang mengatur soal pembunuhan dan penganiayaan.
Kepala Kantor Komisi Daerah Komnas HAM Sulteng, Dedy Askari, mengatakan laporan itu menjadi dasar pihaknya melakukan penyelidikan awal dengan mendatangi lokasi kejadian guna meminta keterangan sejumlah saksi.
Jika cukup bukti terdapat indikasi pelanggaran HAM, maka pihak kami akan membentuk TPF yang melibatkan elemen masyarakat. (JBP/ugi/opi/lim)

Densus 88 Tangkap 15 Pelaku Teror, 29 Buron

Rabu, 01 Nov 2006

Penyelidikan Kasus Kerusuhan di Sulteng
POSO - Tim Antiteror Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Mabes Polri saat ini memburu 29 pelaku yang terlibat dalam kasus kekerasan di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng). Ke-29 pelaku itu adalah bagian dari 44 orang yang telah ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka pelaku kekerasan, baik yang terjadi di Palu, Parigi, maupun wilayah Kabupaten Poso.

Pernyataan itu disampaikan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bahrul Alam kepada wartawan di Mapolres Poso kemarin. "Selama 8 bulan tim Densus bertugas, ada 44 orang pelaku kasus kekerasan telah terungkap," kata Anton. Dia menambahkan, dari 44 orang tersangka, hingga kini tim Densus 88 Mabes Polri dan Polda Sulteng baru berhasil menangkap 15 tersangka. Di antaranya, Hasanudin, Lilik Purnomo, Haris, dan Irwanto Irano. Mereka yang tertangkap kini dalam penanganan Mabes Polri.

Anton menjelaskan, dari 15 pelaku yang ditangkap, telah terungkap 13 kasus kekerasan. Beberapa kasus itu, antara lain, pembunuhan I Wayan Sukarsa, bendaharawan GKST Drs Tadjoja; pembunuhan kepala Desa Pinedapa; penembakan jaksa Fery; perampokan toko emas di Pasar Tua Palu, dan kasus mutilasi tiga siswi SMK Kristen Poso (Theresia Morangke, Alfita Poliwo, dan Yarni Sambuye).

Dia mengatakan, tertangkapnya belasan pelaku dari sejumlah kasus kekerasan tersebut merupakan buah kerja keras polisi dalam penegakan hukum untuk mewujudkan Poso yang aman dan damai. Anton meminta seluruh pelaku yang dinyatakan polisi sebagai buron atau masuk daftar pencari orang (DPO) untuk segera menyerahkan diri. "Saya imbau agar 29 orang itu secepatnya menyerahkan diri kepada polisi. Kami akan menjamin mereka sebagai warga negara sesuai hukum yang berlaku," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Wakadiv Humas Polri itu juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat muslim Poso yang telah menggelar aksi demo secara tenang, tertib, aman dan damai. Walau demikian, dia mengakui ada sejumlah orang yang berusaha memprovokasi massa untuk berbuat anarkis. "Saya berterima kasih sekaligus bersyukur atas aksi damai kemarin. Alhamdulillah, masyarakat Poso sudah paham petingnya keamanan. Insya Allah, hal seperti ini akan tetap terjaga," ucap Anton Bahrul Alam.

Menutut Anton, dari pantauan polisi saat berlangsungnya aksi demo, ada enam orang yang teridentifikasi berupaya memprovokasi massa. Namun, lanjut dia, upaya orang-orang tertentu itu tidak berhasil.

Di Jakarta, Kapolri Jenderal Pol Sutanto kemarin membantah kinerja intelijen dalam menangani kasus-kasus di Poso dan Sulawesi Tengah lemah. Menurut dia, sampai 2006, intelijen Polri berhasil membongkar 323 kasus di bumi Poso yang dijuluki Sintuwu Maroso itu. "Jadi, yang dikatakan lemah itu di mana, harus proporsional ya," katanya di Mabes Polri kemarin.

Intelijen juga telah menjalin koordinasi dengan beragam elemen masyarakat Poso. Termasuk, meminta bantuan kepada Ustad Adnan Arsal untuk mencari buron kerusuhan Poso. "Sudah ada komitmen dari masyarakat untuk ikut membantu mencari DPO, termasuk Ustad Adnan Arsal kami harap bisa bantu kita," katanya.

Menurut Kapolri, daftar para buron itu diberikan saat terjadi pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla. Dukungan yang sama juga disampaikan komunitas Kristen di Palu. "Aparat dan masyarakat berkoordinasi, saling memberikan informasi," jelas Kapolri.

Permintaan bantuan kepada masyarakat, menurut Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Paulus Purwoko, merupakan bagian dari seni investigasi. "Kita merasa perlu untuk menggunakan mediator," katanya.

Di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR Al Muzammil Yusuf meminta Polri tidak diskriminatif dalam pelibatan organisasi masyarakat. "Muncul kesan hanya elemen Islam yang disinggung, seakan-akan memang pelaku teror itu bagian dari komunitas Islam, padahal tidak benar," katanya.

Intelijen Polri, lanjutnya, juga harus mengawasi pergerakan LSM asing yang aktif di Poso. "Provokasi itu bisa jadi bagian dari rekayasa kepentingan asing untuk merusak kerukunan umat yang telah terbina," ungkapnya.

Sebelumnya, Kepala BIN Syamsir Siregar telah memastikan pelaku teror masih berada di Poso. Mereka bukan termasuk kelompok Islam maupun kelompok Kristiani. "Mereka bersenjata dan berbahan peledak," ujarnya di Kantor Wapres.(cr5/rdl/jpnn)