Tuesday, October 31, 2006

EMERGENCY REPORT

STATEMEN !
Pelanggaran HAM dalam Keputusan Hukuman Mati
Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva, Marinus Riwu

Proses politik di Indonesia sejak tahun 1998 telah memberi ruang bagi
diakuinya hak asasi manusia secara formal dengan diratifikasinya
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan kovenan hak asasi manusia, termasuk
diterbitkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Pengadilan HAM. Didalamnya
terdapat pengakuan bahwa hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dibatalkan, dicabut, dihilangkan dalam keadaan apapun dengan
alasan apapun.

Kenyataannya, pada tanggal 5 April 2001, pengadilan negeri tinggi
Palu, Sulawesi Tengah menjatuhkan hukuman mati kepada Fabianus Tibo,
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu. Ketiganya didakwa sebagai pelaku
pembunuhan di dalam mesjid di Desa Sintuwulembah, Kabupaten Poso dalam
rangkaian konflik kekerasan di daerah tersebut pada bulan Mei 2000.
Ketiganya adalah sebagian dari beberapa pihak lainnya yang juga
dijatuhi hukuman mati.

Berkenaan dengan putusan hukuman mati terhadap Fabianus Tibo,
Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu, yang rencananya akan dilaksanakan
pada hari Jumat, tanggal 22 September 2006, pukul.00.00 WIB kami
meminta perhatian komunitas dunia internasional untuk menyikapi
pelanggaran HAM dalam kasus ini dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :

1. Putusan hukuman mati terhadap Tibo Cs melalui proses hukum yang cacat :
Disebut sebagai proses hukum yang cacat karena:
a. Proses 'penangkapan' dilakukan oleh tentara melalui seorang
pendeta (cara penangkapan yang inprosedural), yang awalnya dimaksudkan
hanya untuk meminta keterangan dari ketiganya.
b. Proses pelaksanaan peradilan dibawah tekanan massa (antara lain
dengan melempari, meneriaki, mengancam ketiganya selama proses
persidangan berlangsung) dan hanya berlangsung selama 1 bulan, artinya
prosedur wajar tidak dilakukan dengan memberikan hak kepada terdakwa
untuk mempersiapkan setiap proses guna kepentingan pembelaannya;
c. Pengacara yang menjadi pembelanya adalah tunjukan polisi, yang
justru melakukan pemerasan sejumlah Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) kepada ketiganya dengan alasan untuk meringankan
dan membebaskan dari tuduhan, serta menghadirkan saksi-saksi yang
tidak hanya tidak meringankan tapi juga tidak mengetahui konflik Poso.
d. Putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan saksi yang
meringankan, termasuk tidak mempertimbangkan/mengabaikan novum (bukti
baru) yang diajukan, yang berisi pembuktian ketidakterlibatan
ketiganya dalam peristiwa yang dituduhkan;
e. proses grasi yang sangat cepat dan didesaknya pelaksanaan hukuman
mati sebelum pengajuan kembali grasi kedua setelah dua tahun.

2. Putusan hukuman mati berdasarkan kepentingan politik.
Disebut sebagai keputusan berdasarkan kepentingan politik, karena:

a. Adanya indikasi barter politik oleh pemerintah dan modal
sehubungan dengan rencana pelaksanaan hukuman mati bagi Fabianus Tibo,
Marinus Riwu, Dominggus Da Silva hampir bersamaan dengan rencana
pelaksanaan hukuman mati bagi Amrozi dkk, dan rencana penyergapan
pihak kepolisian ke "Tanah Runtuh" (tempat yang dianggap sebagai basis
kelompok Islam) di Poso. Hal ini menggambarkan adanya barter nyawa
dengan menggunakan identitas agama.
b. Penguburan fakta keterlibatan militer (TNI dan Polisi) dalam
konflik Poso dengan mengalihkan tanggung jawab konflik pada masyarakat
biasa, seperti yang terjadi terutama pada Fabianus Tibo, Marinus Riwu,
Dominggus Da Silva. Pelaksanaan eksekusi mati Tibo adalah bagian dari
strategi politik penyingkiran pelaku konflik berdarah di Poso dan
sekitarnya. Politik penyingkiran ini berkaitan dengan belum tuntasnya
penyelidikan terhadap 16 nama yang diajukan oleh ketiganya sebagai
pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa di mesjid Sintuwulembah
yang memungkinkan bisa menangkap pelaku intelektual dibalik beragam
konflik kekerasan di Poso.
c. Adanya indikasi untuk mengeskalasikan kembali kekerasan Poso
dengan mengeksploitir isyu rencana eksekusi mati ketiganya, termasuk
jika eksekusi mati jadi dilaksanakan. Ini terlihat dari respon fisik
dan teror psikologi yang sangat berbeda yang melibatkan dua kelompok
agama di Poso dan Palu dan sekitarnya. Respon yang menggunakan
identitas agama ini dipastikan sangat berbahaya bagi masa depan
perdamaian di Poso, pasca konflik berdarah sejak Desember 1998,
termasuk menutupi kemungkinan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta
Independen (TGPFI) Poso yang diusulkan oleh para aktivis HAM.

3. Negara Indonesia tidak konsisten dengan semangat pemajuan HAM
Hak hidup adalah hak asasi manusia yang fundamental dan absolut. Tidak
seorangpun dengan alasan apapun (termasuk alasan hukum) berhak
menghilangkan hak atas hidup tersebut kecuali Tuhan, sang pemberi
kehidupan. Di Indonesia, UUD 1945 pasal 28 ayat (1) dan pasal 2 UU RI
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM berbunyi: "Negara RI mengakui dan
menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai yang secara
kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat
kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan" dan Pasal 4
UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menegaskan bahwa "hak atas hidup
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi
dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (non-derogable human rights)".
Kebijakan ini yang konsisten dengan sila 1 dan 2 Pancasila pasal 3
Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia PBB yang dideklarasikan pada 10
Desember 1948 serta pasal 6 ayat 1 Kovenan hak-hak sipil dan politik.

Akan tetapi pada tataran praksis, realitas penerapan hukuman pidana
mati oleh lembaga peradilan di Indonesia yang mengacu pada KUHP produk
kolonial yang sarat dengan "perendahan harkat, martabat dan kehidupan
manusia" dilanggengkan oleh aparat penegak hukum dengan me-negasi Hak
Asasi Manusia itu sendiri. Keberadaan pasal pidana mati masih tetap
dipertahankan dan diterapkan meskipun kontra produktif dengan semangat
pemajuan HAM di atas bumi ini.

4. Pelanggaran HAM, Instabilitas Indonesia dan dunia Internasional
Putusan dan rencana eksekusi hukuman mati bagi ketiganya perlu
mendapat perhatian serius dari dunia internasional untuk mencegah
negara Indonesia menjadi negara yang gagal dalam pemajuan HAM,
mencegah meningkatnya sektarianisme (hal ini terlihat dari
meningkatnya aksi yang berbasis identitas keagamaan yang cenderung
anarkis diberbagai tempat di Indonesia, terutama di wilayah Poso
sehingga ), mengakarnya fundamentalisme yang selanjutnya berakibat
pada instabilitas regional dan internasional.

Adalah merupakan bukti bahwa Negara RI telah melakukan pelanggaran
HAM, dengan cara merampas hak hidup Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan
Dominggus Da Silva melalui putusan peradilan (by justice), ketika
proses peradilan dilakukan tidak fair, dan menerapkan pidana mati
sebagai salah satu sistem dalam pemidanaan.

Seluruh peristiwa konflik, kekerasan dan pembantaian warga sipil di
Poso adalah tanggung jawab negara. Negara bertanggung jawab untuk
memberi rasa aman bagi warganya. Negara harus bertanggung jawab pada
akibat yang telah terjadi yaitu hilangnya banyak jiwa karena negara
telah melakukan "pembiaran" atas peristiwa kekerasan di Poso dan
sekitarnya sejak awal munculnya konflik.

Sebagai respon atas realitas di atas, kami mendesak KOMISI HAM PBB,
AMNESTY INTERNASIONAL, PARLEMEN UNI EROPA, serta KOMUNITAS HAM
INTERNASIONAL, agar MEMBERI PERHATIAN SERIUS TERHADAP KASUS INI DAN
MENYATAKAN SIKAP DAN TINDAKAN YANG NYATA DAN TEGAS TERHADAP PEMERINTAH
INDONESIA SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB TERHADAP KEMANUSIAAN.

Jogjakarta, 20 September 2006

Solidaritas Masyarakat Anti Hukuman Mati (SMAHT)
Jl. Kebon Agung km 11, Sumberdadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman
Yogyakarta, INDONESIA
Contact Person : Lian Gogali +62 81...
Bambang +62 81...

No comments: